
FIKAR W. EDA Lahir di Takengon 1966. Alumni Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, Banda Aceh. Menggeluti sastra dan teater. Tampil dalam berbagai kegiatan baca puisi di sejumlah kota di Indonesia dan Malaysia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Bandung, Kuala Lumpur dalam Pengucapan Puisi Dunia Ke-9 2002, Banda Aceh dan lain-lain.
Sejak 1989 Fikar W. Eda bekerja sebagai jurnalis pada surat kabar Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh. Tak hanya menulis puisi, Fikar W. Eda banyak terlibat dalam berbagai kegiatan sastra di dalam maupun di luar negeri. Kini ia memimpin Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI). Bersama Mustafa Ismail dan Dianing Widya Yudhistira, Fikar mendirikan Aceh Culture Centre yang berbasis di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga yang bercita-cita untuk menggali, mengembangkan dan mempromosikan budaya Aceh di luar Aceh. Di lembaga itu, ia duduk sebagai Direktur dan Mustafa ismail sebagai Direktur Eksekutif.
PUISI-PUISINYA JUGA TERHIMPUN DALAM :
1. Antologi Forum Puisi Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta, 1987),
2. Antologi Sastra Aceh Seulawah (1995),
3. Dari Bumi Lada (Dewan Kesenian Lampung, 1996),
4. Aceh Mendesah Dalam Nafasku (Kasuha,1999),
5. Antologi Puisi Indonesia Jilid I (KSI, 1997),
6. Maha Duka Aceh (PDS HB Jassin, 2005),
7. Syair Tsunami (PN Balai Pustaka, 2005),
8. Lagu Kelu (Asa-JapanNet, 2005),
9. Ziarah Ombak (Institute for Culture and Sociaty, 2005,
10.Antologia de Poeticas (Gramedia, 2008)
11.Dan lain-lain.
Sebetulnya puisi-puisinya adalah bercorak naratif, yang bercerita tentang sesuatu — dalam hal ini kegelisahannya. Berikut ini salah satu puisinya:
KABUT SINGGAH MATA
Fikar W.Eda
Kabut lembut Singgahmata,
Tanjakan pertama ungu muda,
Menutup ujung jalan,
Kabut bagai gelembung kuah belanga,
Tak ada gegas, resah, juga duka,
Harum pohon basah
Menyergap pori pori,
Kaca mobil terkuak lebar
Burung kecil menyampai kabar,
Terbang manja,
Lewat satu tarikan dalam,
Seluruh kabut
Menutup rongga dada.
Tanjakan berikutnya,
Kabut terkuak bagai tingkap,
Bersusun murung dan rahasia
Lembah putih kanan jalan,
Adalah sayap senyap
Dengan ruasnya yang terjaga
Daun mengirimkan doa,
Bagi penghuni rimba,
Lewat cello Jassin Burhan
Petik sitar Yoyok Harness
Tabuh rapa’i Yoppi Andri
Dan puisi yang diterbangkan angin
Menuju dinding lembah
Beutong Ateuh satu tikungan lagi,
Pada rumah kecil empat sagi
Kami lafazkan doa
Untuk mereka yang pergi
berkalang nyawa
Turunan lain,
Tanoh Depet namanya,
Aman Ulis mengikatkan karung plastik
Pada sepeda motor tanpa plat,
Berisi panenan cabe hari ini.
Bersama istri, kami salam bersapa.
Jembatan Berawang Gading,
Maghrib makin pekat,
Ceh Ramlah, perempuan bersuara merdu, tinggal di seberang jalan.
Maaf, tak bisa singgah.
Tak jauh lagi Celala,
Umah Paloh tempat
Cut Nyak Dhien perempuan mulia
Dari ujung jembatan,
Punggungmu kian samar,
lalu lenyap dalam gelap,
menyisakan kabut di mata,
dan mata orang-orang yang singgah di sana.
sumber : sang penunggu istana daruddunia, litera.co.id.