Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan Seminar Kritik Sastra pada 15—16 Agustus 2017. Seminar bertema Kritik Sastra yang Menginspirasi dan Memotivasi itu, selain pemakalah utama seperti Dadang Sunendar, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Melani Budianta, Nirwan Dewanto, Yosi Avianto Pareanom, dan Martin Suryajaya, turut juga pemakalah panel.
“Selain pemakalah utama kami juga mengikutsertakan 16 pemakalah pendamping dari puluhan karya yang sudah terseleksi,” kata Jonner Sianipar, koordinator kegiatan acara ini.
Acara yang bertempat di Aula Sasadu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, ini dibuka oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar yang sekaligus menjadi pembicara kunci usai pembukaan.
Dalam sambutannya, Dadang Sunendar sangat mengapresiasi acara yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan ini. “Semoga melalui seminar kritik sastra, semakin tercipta iklim semangat kritik yang senantiasa menginspirasi sekaligus memotivasi,” tegasnya.
Seminar kritik sastra mendapat apresiasi penting dari peserta. Hal itu terbukti dari jumlah peserta melebihi kuota yang ditentukan. Pendaftaran dilakukan melalui daring peserta dan yang mendaftar sebanyak 267 orang,” kata salah satu panitia. Dan di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Syekh Nurjati Cirebon menugaskan salah seorang dosen bahasa Indonesia yakni Ibu Dr. Indrya Mulyaningsih, M.Pd.
Dalam seminar kritik kali ini, melalui para pembicara utama terdapat isu menarik dari pemikiran ditawarkan, seperti pernyataan Ignas Kleden bahwa kritik sastra di Indonesia sibuk pada tokoh dan bukan pada pokok karyanya. Kemudian Martin Sandjaya yang memasalahkan maraknya tawuran digital dalam kritik sastra Indonesia. Selanjutnya Yoseph Yapi Taum menegaskan bahwa teori hanyalah akuntabilitas bagi sastra Indonesia, maka anak didik itu perlu diajari mencintai karya sastra dengan membaca menulis supaya mampu berimajinasi.
Sapardi Djoko Damono juga mempunyai kegelisahannya tersendiri, yakni tentang suatu hal mesti dipahami oleh guru bahasa Indonesia, bahwa bahasa iklan baiknya juga masuk dalam kurikulum Bahasa Indonesia. “Jadi perihal iklan atau pun propaganda juga dimasukkan ke dalam kurikulum dengan tensi kesesuaiannya tersendiri. Supaya anak didik kelak bersikap lebih kritis. Kemudian saat mempelajari sastra dalam bahasa Indonesia baiknya guru tak perlu banyak bicara, biar anak didik bekerja dari kemampuan tafsirannya masing-masing,” tegas Guru Besar FIB UI sekaligus sastrawan Indonesia ini. (by:fm)
sumber:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/2424